Ketika ditinggalkannya anak perempuan itu dalam diam, ia berlalu pergi tanpa mengucap selamat tinggal. Anak perempuan menangis pilu. Bukan karena cintanya dibawa pergi. Bukan karena dimensi sudah tak setuju menyatukan mereka kembali. Kekasihnya bukan tak baik, ia baik. Ia bahkan lebih baik dari apapun yang ia lihat selama ini. Hanya saja, laki-laki itu tak sempat mengucap selamat tinggal. Sepatah kata pun tidak.
Kini si gadis kehilangan tumpuan. Mengharu biru sampai tak sudah-sudah. Satu-satunya cahaya hidup melindap di atas gelap. Hanya ketika malam telah larut, gadis itu dapat membayangkan bagaimana indahnya hidup di masa lalu di mana Ardian masih bisa membuka matanya. Di mana Ardian masih bisa berjalan menyongsongnya dalam senyum.
Di bawah fajar yang mulai layu, gadis itu mencabuti rumput di bawah kakinya. Di sekitar nisan baru itu, ia sesenggukan. Ia mulai mengharap dirinya mati juga. Ia hanya berharap keberuntungan dua bulan silam itu tak pernah menghampirinya. Mati saja, begitu katanya.
“Kau menyesali sesuatu?” aku mencoba mendekatinya.
Gadis ini cepat-cepat menyembunyikan air matanya.
“Kau... kau ini siapa?”
Aku? Aku sempat berdiam diri ketika ia mengajukan pertanyaan itu. Lucunya, aku jadi merasa aneh. Apa motivasiku menanyakan itu pada gadis yang sedang menangis di pemakaman.
“Penting bagimu mengetahui namaku? Aku pikir, tidak. Kita ini manusia yang sama-sama kehilangan. Bukan begitu?”
Bola matanya semakin nanar dan ia belum mampu membuka bibirnya untuk menimpali pernyataanku.
“Sudahlah. Jangan menjawabku. Aku dulu juga begitu. Bicara dalam diam.”
“Kau... memangnya kau kehilangan siapa?” gadis itu berkali-kali mencoba mengeraskan suaranya tapi terhalang air mata yang bercampur di tenggorokannya.
“Aku senang kau menanyakan itu. Biasanya orang yang ditinggalkan akan apatis pada dunia, tapi kau mampu melewatinya. Dan tentang pertanyaanmu itu, jawabnya ada di sana,” aku melempar jauh pandanganku ke sebuah nisan yang masih terlihat cantik.
“Dia terbujur cantik.”
“Perempuan? Pasti begitu memilukan untukmu.”
“Tunangan. Bukan hanya memilukan, tapi menjatuhkan hidup dan nyawaku sendiri.”
Gadis ini diam sebentar. Beberapa detik kemudian, air mata mengalir lancar dari matanya yang mulai terlihat tipis. Dihujami air mata berhari-hari pasti membuat gadis ini merasa lelah. Jiwa dan seluruh harapannya seolah luntur bersama air itu, sepertiku saat kehilangan Andini.
Di bagian lain dari pemakaman ini, sebuah keluarga berkumpul nyekar salah satu nisan. Sudah barang tentu ia yang terlelap itu salah satu bagian dari mereka. Tapi bagaimana denganku dan Andini? Kami nyaris menjadi satu, satu keluarga. Memiris hati, kau tahu? Hanya sejengkal hari kami akan duduk di pelaminan, tapi ia diambil tanpa ijin dariku.
Beginikah hukum alam? Tidak, aku tak setuju bila begini jadinya. Ya, demikian pikiran lamaku setelah tahu aku ditinggal sendirian. Rasanya mataku terlalu berat untuk dibuka. Mencoba mati secara pelan-pelan. Tapi apa daya? Sinar mentari kamar rasanya tak sudah-sudah menyadarkanku untuk menghidupi dunia. Duniaku. Yang sekarang tanpa Andini.
Kuangsurkan sebuah tissu untuknya. Ia masih saja menangis sesenggukan. Aku yang begini merasa kuat pun terkadang bersembunyi di kamar sambil menyalahkan diri sendiri. Menangis mungkin sudah jadi rutinitas. Tapi aku tak mau terlalu sering menangis. Bayangkan saja, Andini bisa memergokiku dan menertawaiku dari sana. Iya kan? Hehe.
“Kau, maaf, kau kehilangan siapa?”
“Tunangan. Bukan hanya memilukan, tapi menjatuhkan hidup dan nyawaku sendiri.”
Batinku nyeri juga.
“Bagaimana bisa?”
“Memangnya kau punya waktu untuk mendengar cerita yang menyedihkan ini?”
Semburat senja makin nampak di pelupuk, tapi aku akan tetap mendengarnya bicara. Menghabiskan sore.
**
Bagaimana bisa pengambilan foto pre-wedding bisa melelahkan begini? Ardian mampir di sebuah warung dan mengangsurkan beberapa lembar seribuan sebagai ganti air mineral yang akhirnya ia berikan pada Kirana.
“Kau tidak lelah, sayang? Kenapa hanya beli satu botol?”
Ardian menyalakan mesin mobilnya. Dan masih membisu. Seolah Kirana tak mengatakan apa-apa sebelumnya.
Kirana menyodorkan botol air mineral yang masih setengah berisi. Tapi Ardian masih diam saja memfokuskan pandangannya ke jalan raya.
“Sayang, kira-kira foto kita akan dibingkai sebesar apa?” celetuk Ardian.
“Menurutmu, sebesar apa?”
“Tidak. Maksudku, bagaimana jika fotoku saja yang dibingkai? Hehe ...”
Ulu hati Kirana tiba-tiba nyeri. Tak sempat menyambung tawa Ardian.
Perjalanan Jogja-Semarang yang melewati sore rupanya membuka cerita-cerita legit di antara mereka. Ardian yang dengan terang-terangan membuka rahasia masa kecilnya. Ia masih sering ngompol sampai kelas 2 SD! Dan Kirana yang malu-malu mengakui perasaan sukanya pada tetangga paruh baya hanya karena ia membawa mobil keluaran terbaru saat ia masih duduk di bangku 3 SD!
“Materialistis kau. Haha.”
“Sementara kau, ngompolistis! Hahaha.”
“Sudahlah, jangan membongkar rahasiaku. Kau mau mampir cari makan atau kita teruskan perjalanan?”
“Terserah padamu saja. Kau lapar?”
“Tentu tidak. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa pada tubuhku. Jadi sebaiknya, kau pakai sabuk pengamanmu.”
“Nhah kau sendiri, pakai sabukmu sendiri.”
Perjalanan di jalan raya yang lengang itu nampak begitu mengasyikkan. Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi suara petir menggelegar menyambar telinga Ardian. Banting stir yang sedemikian cepat. Merobohkan kendali, memutar beberapa kali. Bertarung dengan Xenia lain, H 3110 JD.
**
Andini mengeluh kelelahan segera setelah mereka melanjutkan perjalanan. Acara reuni SMA yang diadakan di Jogja rupanya membuat Bagas dan Andini sama-sama kelelahan. Mereka harusnya diam di rumah. Meronce rencana pesta pernikahan mereka, dua minggu lagi. Tapi hari ini, mereka putuskan untuk menghadiri reuni. Sekalian menyebarkan undangan pernikahan mereka yang akan dilangsungkan di Semarang.
Semarak antusias teman-teman mereka rupanya makin membumbungkan hati dua insan itu. Betapa tidak, mereka telah ada dalam hubungan khusus semenjak SMA. Pasangan ideal, kata teman-teman. Segera setelah Andini mendapatkan gelar sarjana gizi dari Universitas Gajah Mada dan Bagas mewarisi bisnis keluarganya, mereka putuskan untuk mempersiapkan pernikahan.
“Kau yakin, Gas?”
“Yakin? Tentang apa, An?”
Andini nampak menahan kata-kata yang akan keluar dari bibirnya.
“Hei sayang, ada yang ingin kau ceritakan padaku?” Bagas menengok wajah tunangannya dan segera pandangannya kembali menguasai jalan di depan.
“Tentang kita, Gas. Tentang pernikahan dan segala hal yang sedang kita siapkan. Kenapa akhir-akhir ini hatiku berkata bahwa kita tak bisa berjalan di jalan yang sama? Sugestikah? Aku takut, Gas.”
Bagas menepikan mobilnya. Ia merasa kasihan pada Andini. Tak seharusnya acara penikahan seperti ini membebaninya. Mereka sudah membagi pikiran, rasa, dan angan-angan. Tapi Bagas merasa semua akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja.
“Sayang, mungkin kau hanya kelelahan setelah acara tadi. Tidur saja di jok belakang,” Bagas mengambil telapak tangan Andini dan saling mengaitkan jemari mereka.
Andini hanya tersenyum simpul dan segera pindah ke jok belakang. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi Bagas buru-buru menghidupkan mobilnya.
“Tapi Gas, kau yakin kan pada ‘kita’?” suara gadis itu kini terdengar kaku.
“Tentu saja, sayang. Kita akan menikah dan hidup bahagia.”
Andini segera terlelap setelah Bagas menyelesaikan kalimatnya. Sementara itu, Bagas terus membawa mobilnya dengan kecepatan rendah supaya Andini nyaman dalam tidurnya.
Jalanan memang amat lengang sehingga Bagas menambah kecepatan mobilnya. Tak ada pertanda apapun, namun secara mendadak sebuah Xenia H 2426 YN memutar sedemikian cepat sampai Bagas belum mampu menguasai keadaan. Kedua kaki dan tangannya seakan kaku, tak bergerak. Satu nama yang terlintas di benaknya saat itu hanyalah : Andini.
**
Dua insan itu berlinangan air mata. Harusnya mereka bersama masing-masing seorang lain di samping mereka. Harusnya mereka tak ada di pemakaman itu. Harusnya mereka meronce kebahagiaan dengan pasangan masing-masing. Bukan menangisi kehampaan yang kini menyeruak.
“Ya, benar Ar. Hanya fotomu yang dibingkai saat itu. Saat pemakamanmu,” Kirana menangis sesenggukan, “Aku iri pada orang yang bisa membaca takdir, sepertimu, sayang.”
“Kau seharusnya tak tidur, An. Kita seharusnya berjalan di jalan yang sama. Dan aku begitu besarnya yakin pada ‘kita’. Betapa irinya aku padamu, An. Kau tahu segalanya tapi menyembunyikannya dariku,” Bagas tak bisa menahan air matanya.
**