Sudah beberapa kali aku dihempas berbagai macam
pikiran. Dia menyuruhku menerka apa yang sedang terjadi. Dia memberiku
kepastian akan adanya kemungkinan di hari depan. Dia membuatkanku teka-teki.
Puzzle yang takkan membuatmu lelah, tetap berjalan dalam duniamu.
Lain
hari, dia menampilkan pertanda. Entahlah. Apakah ini pantas disebut pertanda
atau hanya hal biasa yang tak manusia sadari. Lalu aku menggiring perasaan itu
ke tempat yang aman. Aku paham.
“Ya.
Kau seharusnya tidak mengambilnya.”
Aku
tersenyum begitu saja. Mengikuti aliran udara di sekeliling.
“Sudahlah.
Nanti semua akan kembali pada tempatnya,” katanya sekali lagi.
Itulah
terakhir kali aku mendapat senyum mengembang dari seraut wajah. Menenteramkan.
Membuyarkan.
Dan
kembalilah aku di waktu ini. Banyak kebetulan yang aku rasa janggal. Potongan
puzzle itu turun darinya tak henti. Memaksaku berpikir keras apa yang
sebenarnya terjadi. Namun dia membiarkanku menerka-nerka seorang diri.
Melepasku dalam arus yang, entahlah, aku tak mampu memberinya nama.
Dan
pada suatu hari, dia berdiri di suatu sudut. Begitu saja. Memberiku potongan
puzzle berikutnya.
“Jujur
saja, kau menghalangi jalanku,” aku hampir meledak melihat tingkahnya.
Aku
paham dia sengaja melakukannya. Namun sayang, kau terlalu abu-abu.
**
Aku
mengenal mereka satu-satu. Datang dari raut wajah yang kini bisa tertebak. Dia.
Dia memiliki banyak pemuja yang hidup di dekatku. Kian hari aku makin yakin.
Kau yang abu-abu justru berkilau di luar sana. Mereka memang memandangmu
berbeda.
Aku
merasa ini sangat lucu. Memuakkan. Menggelikan. Membuatku nyaris menghapus
puzzle-puzzle yang mulai terkuak. Aku tak mampu mencarinya. Aku tak mampu
melengkapinya. Membuat suatu kesimpulan yang terlalu dini justru akan
memperlihatkan kebodohan. Mengabaikan keadaan dan melihatnya sama hanyalah
omong kosong. Dan terus ...
Kapan kau akan membuatku mengetahui
semuanya?
Sungguh,
permainan puzzle yang melelahkan.