Selasa, 16 Agustus 2011

Perfeksionis di Ujung Rindu


                Lagu sendu yang amat akrab di telinga kami kini mengalun lirih lewat speaker yang dipasang di pojok-pojok kafe ini. Mengiris hati. Seakan memutar kembali alasan mengapa kami bersepakat bertemu di tempat ini. Bukan sinetron yang panjang, hanya berlangsung beberapa episode saja.
            Dengan segala keberanian yang masih berusaha kututupi, aku merasa benar dan teguh. Siapa yang berhak memilih bakat sepintar yang ada di diriku ini? Aku mau semua sempurna, tanpa cela. Aku takkan merelakan buah keringatku ternoda oleh apapun, termasuk cinta.
            Dia mengetukkan jarinya beberapa kali ke meja sambil menyesap cappucino di  cangkir putih berlengan dua. Ia belum pernah melihat ke arahku sejak duduk di depanku. Kami memang duduk di meja dekat jendela sehingga apapun yang terjadi di jalan, paling tidak, dapat menghiburnya. Kuperhatikan, ia terus saja melabuhkan tatapan matanya pada sebuah baliho di pinggir jalan. Sebuah iklan merk busana wanita terkenal dengan foto seorang artis pendatang baru yang namanya sedang naik daun.
            “Kopiku sudah hampir habis,” rupanya ia sudah mengalihkan tatapan matanya kepadaku.
            Aku diam sebentar. Rikuh dan bingung harus menjawab apa. Seharusnya aku mampu mengimbanginya, dalam bermain kata sekali pun. Itu sudah jelas kemahiranku.
            “Pesanlah satu lagi. Ini sore yang indah,” kutundukkan wajahku karena barangkali lima menit lagi aku akan mati kaku berhadapan dengan orang macam dia.
            “Ini sore yang biasa saja. Hanya satu yang membuat sore ini tak biasa.”
            “Apa?”
            “Iklan di baliho itu. Kau sudah lihat kan?” mataku mengikuti arah tunjukan jari telunjuknya menuju baliho yang betah ia tonton.
            Aku menelan ludah. Rasanya sedikit ngeri bila ia berkata begitu. Aku bisa menangis keras-keras kalau begini jadinya. Kesalahan yang hampir tak terampuni olehku di masa lalu seharusnya menjadikan ia lebih setia. Ya, kesetiaan yang kuharap bagai bintang jatuh yang tak pernah tersentuh. Kerapatan hati yang tak pernah mengijinkan kami berbagi kisah secara utuh. Seharusnya, ia ingat semuanya.
            “Astaga, apa kau cemburu lagi, sayang?” nada bicaranya yang seperti ini terasa lebih menyakitkan bagiku.
            “Ah, mana mungkin aku cemburu pada artis di iklan itu,” aku paksakan untuk tertawa kecil.
            “Vidia sayang, akuilah saja. Aku memang bukan laki-laki baik buatmu. Aku tak seperti tokoh-tokoh di cerpen atau novel larismu itu. Kau itu amat ..,” Jeffri tiba-tiba memutus kalimatnya sambil mencari-cari sesuatu lewat pikirannya.
            Kumohon jangan katakan kata itu lagi. Cukup bilang bahwa aku baik. Atau cantik. Dan berbakat, mapan atau apa saja yang tidak menyakiti perasaan wanita lemah sepertiku.
            “Perfeksionis!”
            Aku ingin tuli saja agar tak bisa mendengar kata itu lagi keluar dari mulutnya. Bibirku hampir terkunci beku hingga sangat terlambat bagiku untuk membela diri. Itu sudah pasti jadi senjata ampuhnya untuk memojokkanku hingga aku menyerah.
            “Tempo hari aku terima kritikan darimu tentang pekerjaanku sebagai supir taksi. Karena saranmu pula, aku mencari pekerjaan lain yang lebih layak di matamu. Tapi nihil. Aku lelah. Aku memang tak sepertimu Vi, gadis matang yang mapan sebagai penulis dan editor di penerbitan paling terkenal di kota metropolitan ini. Aku tak akan bisa sebanding denganmu.”
            Setengah jam telah berjalan lebih lama dari yang kukira. Padahal hanya sekelumit kata yang baru terlontar, tapi waktu nampaknya ingin lari tunggang langgang. Sama seperti air mataku yang ingin kularikan sampai jauh tak tahu arah supaya tak sampai menetes satu tetes pun di depan kekasihku sendiri.
            “Sudahlah, aku lelah sejak pagi berputar-putar melamar pekerjaan. Kau, pulang saja. Bukankah seharusnya kini kau lelah karena semua pekerjaanmu yang tak ada habisnya itu?”
            Tanpa menjawab, aku segera angkat kaki dari tempat itu. Toh, Jeffri juga tak menahanku untuk tetap berbicara di sana. Bahkan dengan amat jelas, ia menyuruhku pulang. Mungkin aku masih saja keras kepala, hingga di belakang setir pun aku masih mengomel seperti ibu-ibu.
**
            Rutinitas kembali mengusikku di awal hari seperti ini. Mataku masih lelah saat kubaca beberapa sinopsis novel yang direkomendasikan untuk terbit bulan depan. Semua naskah yang kurasa telah beres, kupilah-pilah menurut genre dan kelayakannya. Aku tak mau ada satu kekurangtepatan dalam apapun yang kukerjakan.
            Barangkali kantor ini yang memahat orang menjadi sepertiku. Perfeksionis, seperti kata Jeffri. Aku sendiri sering menyesal mengapa dulu aku marah sampai berhari-hari hanya karena ia salah mengeja nama lengkapku. Dan alasan mengapa di tahun pertama hubungan kami, aku selalu khawatir akan kesetiaannya sampai memaksanya berganti SIMcard handphone denganku setiap dua hari.
            “Vi, kamu melamun?” Cassanya, teman editorku, meletakkan beberapa naskah di atas mejaku.
            “Eh, ng, hanya kurang tidur saja. Kau sudah baca buku kumpulan puisiku yang baru saja terbit?”
            “Tentu saja. Aku suka buku barumu. Bahkan ada satu puisi yang menurutku, unik. Mirip seperti dirimu, Vi,” wanita ini mengambil sesuatu dari tas jinjingnya dan membawakan padaku sebuah buku yang akrab dengan mataku.
            Ia membuka bukuku pada salah satu halaman dan menunjuk satu judul di sana. Perfeksionis di ujung rindu, seperti itulah panggilan untuk puisiku yang satu itu. Tapi apa maksudnya, mengapa ia katakan itu mirip denganku?
            Aku siap mendaki bukit tanpa guratan di kaki
            Tak harus kurebahkan atas kekuatan yang termiliki
            Maka kusingkirkan balutan yang tak pasti
            Sementara ku hilang, makin remuk menggantung hati
            Lemah tergugu dalam sunyi
            Karena yang tak pasti kini menertawai
            Seorang pendaki berjiwa batu yang mulai merindu
            “Apakah kau sedang bercermin ketika menulis puisi itu, Vi?” teman editorku ini rupanya mengenalku lebih dari diriku sendiri.
            “Bercermin?” tanyaku pura-pura.
            “Itu mirip sekali denganmu. Haha. Bahkan judulnya pun langsung mengingatkanku padamu,” Cassanya menepuk pundakku seolah memaksaku untuk jujur saja dengannya, “Sebagai teman baikmu, aku punya satu saran untukmu.”
            Cassanya memang jadi teman dekatku sejak pertama aku bekerja di sini. Aku baru dengar nada bicara seperti ini darinya. Sarat ketegasan.
            “Vi, kau tak selalu harus memikirkan pekerjaan. Juga buku-bukumu. Selama ini, kau tak pernah bercerita tentang laki-lakimu padaku. Pastinya, kau punya kekasih, kan?” Cassanya berkata amat rapi hingga aku tak bisa menjawab apa-apa sampai ia pergi.
            Perkataannya barusan seolah menembak lurus tepat ke otakku. Aku harusnya tak seegois ini. Jika aku seperti ini, barangkali status perawan tua akan menempeliku sampai mati. Tapi sungguh aku nyaman dengan sifatku ini. Menginginkan segalanya sesuai dengan cita rasaku. Bukankah itu akan membuatku lebih nyaman?
**
            Sudah seminggu tepat Jeffry mengajakku bertemu. Entah apa lagi yang ingin ia katakan. Aku tak mau menduga-duga agar tak sakit hati lagi. Ataukah seperti setahun yang lalu ketika ia terang-terangan menunjukkan kekasih barunya padaku. Tapi rasanya ia takkan seberani itu lagi, ia sudah janji padaku.
            Semakin laki-laki itu meminta sebuah pertemuan, semakin ciutlah nyaliku menghadapinya. Kupikir tak ada yang salah dengan hubungan kami. Cukup saja dan tak ada yang kurang satu pun. Apa ia tak pikirkan jadwalku yang hampir tak pernah kosong seminggu ini?
            Untuk mengalahkan keegoisanku, kusanggupi penawarannya untuk bertemu di kafe langganan kami. Kemaja putihnya yang sering ia pakai menyapaku saat ku duduk berhadapan dengannya dekat jendela.
            “Sudah lama menungguku?”
            “Kau pasti sangat sibuk. Sangat sulit buatmu untuk meluangkan waktu untukku.”
            “Sudahlah. Apa yang kau bawa padaku? Buruk atau baik?”
            Jeffrry diam sejenak. Ia memalingkan wajahnya pada baliho yang ia bicarakan minggu lalu. Sambil memegangi cangkir latte machiato, iaa tersenyum sampai membuatku takut setengah mati.
            “Baik bagiku, dan mungkin buruk bagimu.”
            “Tolong jangan katakan,” jariku mulai gemetaran.
            “Kita tak akan bisa sepadan, Vi. Kau tahu kan bahwa aku merindukan sosok wanita yaang biasa saja. Ia, yang bisa memahamiku, memahami profesiku, dan tak seegois dirimu. Sandarkanlah hatimu pada orang lain karena hatiku sudah tersandar pada perempuan lain.”
            Tidak. Aku mau tuli. Aku tidak mendengar apa yang baru saja ia katakan. Aku tidak mengerti bahasa apa yang ia gunakan. Aku ingin tuli saja. Benar-benar tak punya telinga.
            “Kau tak mau memesan sesuatu? Latte machiato ini enak sekali,” bibirnya ringan sekali berucap seperti itu membuatku hampir menangis, “Pulanglah sebelum wanitaku datang kemari.”
            Apa-apaan ini? Siapa wanita yang bisa membuat ia bersandar hingga ia berani mengusirku dari sini? Kini keberuntungannya sudah mati. Wanita yang biasa-biasa saja, yang tak punya keahlian apa-apa mungkin sudah dalam perjalanan kemari. Dengan bis, atau lebih parah, jalan kaki menghemat uang bea secangkir kopi kekasih barunya.
**
            Dua bulan ini menjadikanku seseorang yang lebih kuat. Aku jadi lebih sering jalan-jalan ke mall dengan Cassanya. Hunting wedges unik yang baru booming akhir-akhir ini. Ia sudah tak mengusik laki-lakiku. Ia tahu aku sedang sendiri.
            Di suatu pagi di bulan Desember, Cassanya datang ke kantor dengan senyum meleleh dari bibirnya. Ia mendatangiku, mungkin ingin menunjukkan sebuah kertas, mirip poster, yang ia bawa.
            “Vi, kau pernah tahu seseorang berubah dengan signifikan?”
            Aku melongo. Perempuan ini bicara apa?
            “Sepupuku, ia dapat tawaran pemain utama di sebuah film. Ini berita paling baik yang masuk telingaku.”
            “Kenapa kamu bilang signifikan? Ia pasti rajin mengikuti casting.”
            “Ia mantan pekerja serabutan dan baru sekali ikut casting film. Itu yang kusebut signifikan.”
            “Siapa? Kau belum mengenalkanku padanya. Nasibnya memang mujur.”
            “Ini. Kuambil posternya dari sebuah majalah. Dia, benar-benar tampan.”
**
            Baru tadi siang Cassanya mengenalkan superstar baru kepadaku. Berita baik itu justru membuat perutku tak enak. Migrainku kambuh lagi. Tapi rasanya akan membosankan bila aku langsung pulang ke rumah.
            Saat melintas dekat kafe, aku putuskan untuk singgah sejenak. Sore begini, saat orang sedang pulang kantor, aku tak merasa kaku pada kaki atau tanganku. Namun di suatu sudut jantungku, rasanya perih terlilit sesuatu yang memuakkan.
            Benar kata Cassanya. Puisi itu memang mirip sekali denganku. Seperti ramalan yang ampuh, membuatku duduk sendiri di saat orang lain tertawa riang di pinggir jalan. Hanya kaca besar ini yang memisahkan aku dengan orang-orang di luar sana.
            Aku siap mendaki bukit tanpa guratan di kaki. Tolong jelaskan padaku, mengapa guratan itu menjalar mengerogoti hati?
            Tak harus kurebahkan atas kekuatan yang termiliki. Sekarang justru aku tak punya kekuatan seujung jari pun.
            Maka kusingkirkan balutan yang tak pasti. Laki-laki yang kusangka lemah itu kini telah kutendang pergi.
            Sementara ku hilang, makin remuk menggantung hati. Semakin ku lari, hatiku ingin tetap tinggal.
            Lemah tergugu dalam sunyi. Kini pipiku hangat, duduk sendiri di sebuah kafe pada malam minggu.
            Karena yang tak pasti kini menertawai. Ini lebih mirip sebuah ejekan.
            Seorang pendaki berjiwa batu yang mulai merindu. Wanita mapan yang sedang kesepian.
            “Latte machiato ini memang enak, seperti katamu,” ucapku lirih sembari menonton iklan baru di baliho dengan sepasang pasangan artis muda pendatang baru yang sedang naik daun dalam pose mesra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar