Selasa, 20 September 2011

Monolog Tahun Baru

Seperti sudah bertahun-tahun aku menetap di rumah ini. Padahal baru seminggu aku menghabiskan waktu liburan akhir tahunku di sini. Di sebuah Regency di Sidoarjo, yang lebih dekat dengan bandara Djuanda Surabaya. Di rumah adik ibuku.
            Garden Dian Regency ini menjadi tempatku menghabiskan liburan tahun baru. Semacam perumahan dengan satu gerbang keluar-masuk yang amat sepi. Jika siang sudah hadir, matahari di puncak tertinggi, maka tak ada satu pun tetangga yang membiarkan pintu rumahnya terbuka. Semua ngadem di rumah.
            Hampir tak ada yang ingin kulakukan saat itu. Ulang tahunku di penghujung tahun juga tak begitu menarik. Keluarga besar memasakkanku mie telor lengkap dengan sayuran. Makanan favoritku.
            Jelas kehidupan sementaraku di sini berbeda dengan hari-hari yang kujalani di Solo. Di sana, kau bisa pergi ke setiap tempat dengan semua temanmu. Tapi di sini, terkadang aku lupa letak minimarket terdekat. Di Solo, kau takkan sedikit pun merasa sendirian. Tapi di tempat ini, aku kesepian.
            Semua orang dewasa punya kegiatan masing-masing. Memasak, ngerumpi, nonton TV, main dengan sepupu-sepupuku yang usianya jauh di bawahku. Hari demi hari berlalu begitu saja tanpa kurindukan. Aku merasa melewatkan banyak hari. Hingga rasanya tak sudah-sudah.
            Mungkin kalian berpikir aku ini orang aneh. Opini itu memang tak salah. Orang lain pasti betah menghidupi liburan mereka. Berlama-lama dengan kegiatan santai, jam istirahat yang lebih, serta kesempatan menonton acara hiburan di televisi.
            Kontras. Yang kurasakan sekarang ibarat membuat kue cantik yang tak ingin kau makan lalu ingin kau buang secepatnya karena kau tak tega. Kehangatan berkumpul dengan keluarga besar memang amat pekat kurasakan. Tetapi jauh di sudut jiwaku, aku ... merasa sendirian.
            “Itu kan salah lu sendiri. Kenapa dulu lu mau ikut ke sini? Coba kalo lu tetep di Solo, lu bisa main ke mana pun lu mau. Nggak ngelamun begini.”
            “Yayaya. Makasih banget deh, hatiku. Yang lu omongin sama sekali nggak membantu. Kenapa dulu lu nggak ngelarang gue sebelum gue putusin buat ikut ke sini?”
            “Yey! Lu pikir gue peramal? Gue kan cuma satu sisi dari hati lu. Dari jiwa dan pikiran lu.”
            “Tapi gue bisa kok nikmatin hari-hari di sini.”
            “WHAT?? Lu bisa? Di kota orang gini, lu bisanya cuma ngelamun di depan TV. Taruhan deh, lu kangen jalan-jalan, kan?”
            “Nggak tuh. Lu aja kali.”
            “Hey, gue ini kan lu juga.”
            “Setan! Ih, nyebelin.”
**
            Entah kenapa, hari ini perasaanku sungguh tak karuan. Ini benar-benar klimaks dari kesepian. Aku amat tak betah. Padahal, hari ini malam tahun baru. Parahnya, keluarga besar tak punya rencana ke mana pun.
            Jam delapan malam, para sepupu, tante, om, dan semua keluarga sudah tidur. Mereka tak menganggap hari ini spesial. Bagi mereka, tahun baru hanyalah hari biasa seperti hari-hari lainnya. Dan itu membuat hatiku ngilu. Jauh di lubuk hati, aku ingin semuanya berbeda untuk hari ini.
            “Lu pingin nyalain kembang api? Sama siapa? Mereka udah mimpi indah sementara lu bengong di depan TV.”
            “Dasar kompor! Gue emang bete di sini. Pingin beli kembang api tapi nggak ada yang nemenin. Takut juga seliweran sendirian.”
            “Yaudah, lu tonton aja tuh TV. Daripada bengong.”
            “Nonton apaan? Hari ini nggak ada yang asik, tauk! Police Story, film nya Jackie Chan yang udah seribu kali gue tonton malah dikeluarin pas malam tahun baru. Huhh!”
            “Di channel 3 kan ada acara musik.”
            “Lagi nggak mood dengerin musik.”
            “Yaudah, tidur sana!”
            “Dasar lu ye! Lagi nggak ngantuk malah disuruh tidur.”
            Dan begitulah. Aneh. Stupid. Aku sedang bicara pada diriku sendiri. Monolog dalam hati menyeruak, jam demi jam.
            Kucoba berkali-kali untuk fokus pada tayangan televisi. Tapi gagal. Segala yang kulihat seperti terbang entah ke mana. Tentu ini membuatku makin sebal. Resah. Semua menjalar melewati rongga perutku.
            “Kalo laper, lu makan aja.”
            “Lu mau bikin gue naik berapa kilo lagi? Gue tadi udah makan, kok.”
            “Heh, dengerin tuh suara perut lu krucuk-krucuk dari tadi.”
            Aku sedikit mempertimbangkan. Begitu suara dari perutku makin keras, kuputuskan untuk memasak mie instan. Sendirian. Di dapur yang dingin.
            “Asik, ada mie instan nih.”
            Lumayan juga menikmati sepiring mie instan di malam dingin seperti ini. Hanya tiga makhluk yang masih hidup di ruangan ini. Aku. Televisi yang membosankan. Dan mie istant yang sebentar lagi akan berpindah ke perutku.
            “Sekali lagi gue bilangin. Di sini nggak ada yang asik. Makan pun juga nggak asik.”
            “Gue tahu lu bohong. Tuh buktinya lu makan lahap banget.”
            “Yaya, terserahlah.”
            “Being fat, i’m coming! Haha.”
            “Sindiran lu nggak mempan.”
            “Siapa bilang sindiran? Itu ramalan. Ramalan yang bakal jadi kenyataan.”
            “Ah biarin, orang mie nya juga udah masuk ke perut, kok. Mau gendut juga nggak papa.”
            “Yang bener? Ntar kalo lu marah, gue juga yang kena.”
            “Diem deh!!”
            “Aihh, lu tuh yang diem.”
            “Lu. Pokoknya elu. Titik!”
            “Gue? Enak aja. Lu tuh yang diem.”
            Aku jadi pusing sendiri. Semua suara itu makin membahana dari dalam jiwaku. Bermunculan seperti keringat yang mulai keluar dari wajah dan leherku. Tahun baru mengecewakan!
            Akhirnya, detik-detik yang kutunggu pun tiba. Satu menit terakhir. Tiga per empat menit terakhir. Separuh menit terakhir. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu.
            “Yeyeyy!! Goodbye 2007, welcome 2008!”
            Suara kembang api dan mercon tahun baru beterbangan di angkasa. Di sini, di awal hari, aku hanya bisa melirik gemercik kembang api yang riuh lewat jendela. Lewat jendela. Setidaknya, tahun ini aku masih bisa melihat percik merah di langit malam.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar