Selasa, 20 September 2011

Monolog Tahun Baru

Seperti sudah bertahun-tahun aku menetap di rumah ini. Padahal baru seminggu aku menghabiskan waktu liburan akhir tahunku di sini. Di sebuah Regency di Sidoarjo, yang lebih dekat dengan bandara Djuanda Surabaya. Di rumah adik ibuku.
            Garden Dian Regency ini menjadi tempatku menghabiskan liburan tahun baru. Semacam perumahan dengan satu gerbang keluar-masuk yang amat sepi. Jika siang sudah hadir, matahari di puncak tertinggi, maka tak ada satu pun tetangga yang membiarkan pintu rumahnya terbuka. Semua ngadem di rumah.
            Hampir tak ada yang ingin kulakukan saat itu. Ulang tahunku di penghujung tahun juga tak begitu menarik. Keluarga besar memasakkanku mie telor lengkap dengan sayuran. Makanan favoritku.
            Jelas kehidupan sementaraku di sini berbeda dengan hari-hari yang kujalani di Solo. Di sana, kau bisa pergi ke setiap tempat dengan semua temanmu. Tapi di sini, terkadang aku lupa letak minimarket terdekat. Di Solo, kau takkan sedikit pun merasa sendirian. Tapi di tempat ini, aku kesepian.
            Semua orang dewasa punya kegiatan masing-masing. Memasak, ngerumpi, nonton TV, main dengan sepupu-sepupuku yang usianya jauh di bawahku. Hari demi hari berlalu begitu saja tanpa kurindukan. Aku merasa melewatkan banyak hari. Hingga rasanya tak sudah-sudah.
            Mungkin kalian berpikir aku ini orang aneh. Opini itu memang tak salah. Orang lain pasti betah menghidupi liburan mereka. Berlama-lama dengan kegiatan santai, jam istirahat yang lebih, serta kesempatan menonton acara hiburan di televisi.
            Kontras. Yang kurasakan sekarang ibarat membuat kue cantik yang tak ingin kau makan lalu ingin kau buang secepatnya karena kau tak tega. Kehangatan berkumpul dengan keluarga besar memang amat pekat kurasakan. Tetapi jauh di sudut jiwaku, aku ... merasa sendirian.
            “Itu kan salah lu sendiri. Kenapa dulu lu mau ikut ke sini? Coba kalo lu tetep di Solo, lu bisa main ke mana pun lu mau. Nggak ngelamun begini.”
            “Yayaya. Makasih banget deh, hatiku. Yang lu omongin sama sekali nggak membantu. Kenapa dulu lu nggak ngelarang gue sebelum gue putusin buat ikut ke sini?”
            “Yey! Lu pikir gue peramal? Gue kan cuma satu sisi dari hati lu. Dari jiwa dan pikiran lu.”
            “Tapi gue bisa kok nikmatin hari-hari di sini.”
            “WHAT?? Lu bisa? Di kota orang gini, lu bisanya cuma ngelamun di depan TV. Taruhan deh, lu kangen jalan-jalan, kan?”
            “Nggak tuh. Lu aja kali.”
            “Hey, gue ini kan lu juga.”
            “Setan! Ih, nyebelin.”
**
            Entah kenapa, hari ini perasaanku sungguh tak karuan. Ini benar-benar klimaks dari kesepian. Aku amat tak betah. Padahal, hari ini malam tahun baru. Parahnya, keluarga besar tak punya rencana ke mana pun.
            Jam delapan malam, para sepupu, tante, om, dan semua keluarga sudah tidur. Mereka tak menganggap hari ini spesial. Bagi mereka, tahun baru hanyalah hari biasa seperti hari-hari lainnya. Dan itu membuat hatiku ngilu. Jauh di lubuk hati, aku ingin semuanya berbeda untuk hari ini.
            “Lu pingin nyalain kembang api? Sama siapa? Mereka udah mimpi indah sementara lu bengong di depan TV.”
            “Dasar kompor! Gue emang bete di sini. Pingin beli kembang api tapi nggak ada yang nemenin. Takut juga seliweran sendirian.”
            “Yaudah, lu tonton aja tuh TV. Daripada bengong.”
            “Nonton apaan? Hari ini nggak ada yang asik, tauk! Police Story, film nya Jackie Chan yang udah seribu kali gue tonton malah dikeluarin pas malam tahun baru. Huhh!”
            “Di channel 3 kan ada acara musik.”
            “Lagi nggak mood dengerin musik.”
            “Yaudah, tidur sana!”
            “Dasar lu ye! Lagi nggak ngantuk malah disuruh tidur.”
            Dan begitulah. Aneh. Stupid. Aku sedang bicara pada diriku sendiri. Monolog dalam hati menyeruak, jam demi jam.
            Kucoba berkali-kali untuk fokus pada tayangan televisi. Tapi gagal. Segala yang kulihat seperti terbang entah ke mana. Tentu ini membuatku makin sebal. Resah. Semua menjalar melewati rongga perutku.
            “Kalo laper, lu makan aja.”
            “Lu mau bikin gue naik berapa kilo lagi? Gue tadi udah makan, kok.”
            “Heh, dengerin tuh suara perut lu krucuk-krucuk dari tadi.”
            Aku sedikit mempertimbangkan. Begitu suara dari perutku makin keras, kuputuskan untuk memasak mie instan. Sendirian. Di dapur yang dingin.
            “Asik, ada mie instan nih.”
            Lumayan juga menikmati sepiring mie instan di malam dingin seperti ini. Hanya tiga makhluk yang masih hidup di ruangan ini. Aku. Televisi yang membosankan. Dan mie istant yang sebentar lagi akan berpindah ke perutku.
            “Sekali lagi gue bilangin. Di sini nggak ada yang asik. Makan pun juga nggak asik.”
            “Gue tahu lu bohong. Tuh buktinya lu makan lahap banget.”
            “Yaya, terserahlah.”
            “Being fat, i’m coming! Haha.”
            “Sindiran lu nggak mempan.”
            “Siapa bilang sindiran? Itu ramalan. Ramalan yang bakal jadi kenyataan.”
            “Ah biarin, orang mie nya juga udah masuk ke perut, kok. Mau gendut juga nggak papa.”
            “Yang bener? Ntar kalo lu marah, gue juga yang kena.”
            “Diem deh!!”
            “Aihh, lu tuh yang diem.”
            “Lu. Pokoknya elu. Titik!”
            “Gue? Enak aja. Lu tuh yang diem.”
            Aku jadi pusing sendiri. Semua suara itu makin membahana dari dalam jiwaku. Bermunculan seperti keringat yang mulai keluar dari wajah dan leherku. Tahun baru mengecewakan!
            Akhirnya, detik-detik yang kutunggu pun tiba. Satu menit terakhir. Tiga per empat menit terakhir. Separuh menit terakhir. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu.
            “Yeyeyy!! Goodbye 2007, welcome 2008!”
            Suara kembang api dan mercon tahun baru beterbangan di angkasa. Di sini, di awal hari, aku hanya bisa melirik gemercik kembang api yang riuh lewat jendela. Lewat jendela. Setidaknya, tahun ini aku masih bisa melihat percik merah di langit malam.
**

Semuanya, di tempat ini

Aku suka tempat ini. Apalagi di malam dengan temaram bulan, tempat ini amat manis dijadikan tempat bersantai. Tempat ini merupakan perpaduan rumah joglo di depan, hotel dan ruang pertemuan di bagian belakang. Persis di sudut pertigaan tengah kota, tempat ini sungguh strategis.
            Di joglo, disediakan beberapa meja dan kursi yang terbuat dari kayu. Sebuah lampu kuno yang digantung di tengah joglo membuat suasana menjadi hangat. Selain di area joglo, beberapa meja juga ditempatkan di halaman yang beralas rumput. Ditambah lampu taman yang tak begitu terang, lagi-lagi, aku suka tempat ini.
            Ditemani musik instrumental keroncong, aku mulai betah mengamati kendaraan yang lewat di jalan. Sepasang muda-mudi berjalan bergandengan tangan di tepi jalan. Mereka nampak serasi dan bahagia. Andaikan aku bisa berandai-andai.
            Gelap. Seseorang menutup mataku dari belakang. Apakah orang itu sudah datang?
            “Sudah, cepat lepaskan Ga.”
            Ia menuruti permintaanku dan segera menarik telapak tangannya dari mataku, “Kenapa? Kamu ngambek?”
            Gatama duduk di hadapanku dengan kemeja putih yang amat berkelas. Aku hampir saja tergoda untuk merayu laki-laki di depanku andai ia bukan sahabatku.
            “Mel, kamu beneran ngambek? Aku kan baru telat 20 menit.”
            “Nggak Ga.”
            Belum sempat kuteruskan ucapanku, seorang waiter berjalan ke arah kami dan menyodorkan daftar menu. Mengingat aku sedang membatasi porsi makanku, maka aku hanya berani memesan puding cokelat saus sirsak dan segelas espresso chill. Menu favorit yang jadi langgananku setahun ini.
            “Jadi kenapa? Apa salahku? Nggak biasanya kamu marah cuman gara-gara ...”
            “Ssstt! Coba rasain suasana tempat ini. Ini bener-bener bikin hatiku tenteram, Ga.”
            “Ah, kamu Mel! Aku kira apa.”
            “Ayo cobalah. Amatilah orang-orang dan segala yang ada di sini dan bayangkan waktu berhenti.”
            Gatama terlihat ragu-ragu menanggapi permintaanku. Ia berulang kali menolak dan menganggap permintaanku hanya sebuah lawakan yang konyol.
            “Begini Ga. Pejamkan matamu sebentar saja. Bayangkan suasana tempat ini dan hentikan waktu. Maka kau akan berlari mencari sesuatu yang tak pernah kau temukan. Kau akan kelelahan lalu terduduk kembali di kursi ini,” kugenggam tangannya untuk beberapa saat agar dia menuruti kemauanku.
            Gatama memejamkan mata. Ia tarik perlahan-lahan simpul senyum di wajahnya.
            “Apa yang kau lihat, Ga?” ia masih saja memejamkan mata.
            “Aku melihat diriku sendiri berlari mengelilingi tempat ini seperti sedang mencari sesuatu. Persis seperti katamu Mel, aku kelelahan dan kakiku lecet. Maka aku kembali lagi ke kursi ini.”
            Setelah menyelesaikan ceritanya, Gatama membuka mata dan mencoba menyadari keadaan. Bahkan ia kehilangan kata-kata atau mungkin lupa bagaimana caranya bicara. Ia amat tenang.
            “Ga, kamu nggak papa, kan? Kenapa? Apa ada hal buruk yang kau bayangkan?”
            “Ng, ehm, kenapa pikiranku sama seperti yang kau katakan sebelumnya, Mel? Apa kau punya semacam kekuatan membaca pikiran?”
            Aku tertawa kecil, “Nggak lhah Ga. Setelah kupikir, lelaki dan perempuan yang kelelahan mencari sesuatu itulah ... kita. Kita, dengan sekuat tenaga, mencari sesuatu yang bahkan tak kita ketahui maknanya. Lalu kita mencoba hinggap di beberapa orang. Bertanya, tapi mereka bilang tidak punya ‘sesuatu’ itu. Bahkan, ada yang jelas-jelas mengusir kita. Atau mempermalukan kita.”
            Gatama masih setia menyimak penjelasanku.
            “Karena terlalu lama mencari, kita lelah setengah mati. Lutut kita lecet. Lalu kita teringat satu tempat untuk berteduh. Dan kita kembali menemukan diri kita menyembukan diri sendirian di tempat ini. Di kursi ini.”
            “Aku tahu kau bicara tentang apa. Kau bicara tentang cinta, kan?”
**
            Hari ini genap tiga bulan aku dan Adrian menjadi sepasang kekasih. Kami berdua tahu bahwa kami sama-sama menyukai keromantisan seperti ini. Adrian memarkirkan sepeda motornya di depan Waroeng Jadoel kemudian menggandeng tanganku dan kadang menekannya dengan erat.
            Kami berjalan menghabiskan jalan sambil menikmati temaram bulan di malam minggu seperti ini. Ah, andai aku punya mesin waktu, akan langsung kutekan tombol stop agar semua stagnat di sini. Aku dan Adrian.
            Adrian menggandengku ke pasar malam. Pasar malam ini tak kalah komplit dengan pasar swalayan. Dari makanan hingga kerajinan tangan berjejer rapi di sini. Sudah beberapa kali aku dan Adrian mengunjungi tempat ini tapi kami tak pernah merasa bosan. Bukan ingin membeli sesuatu, tapi menghanyutkan diri berdua di kerumunan orang banyak seperti ini membuatku makin kasmaran saja.
            “Melisa sayang, aku ambil handphone di jok motor dulu ya. Maaf ya mel, kamu tunggu di sini aja. Aku nggak lama, kok,” Adrian melepas genggaman tangannya lalu menghilang ditelan kerumunan orang.
            Kuputuskan untuk mengunjungi stand terdekat. Sebuah stand khusus barang-barang antik. Ini bisa jadi sasaran empuk kolektor seni. Ada satu benda yang menarik perhatianku. Sebuah kalung dari kuningan yang biasa dipakai puteri-puteri keraton, menggantung indah di dinding stand.
            Mataku mencari-cari kehadiran Adrian tapi nihil. Seseorang memberikan sebuah brosur diskon makanan tradisional di stand lain tapi aku sama sekali tak tertarik. Yang kucari sekarang hanya Adrian. Aku butuh Adrian sekarang juga.
            “Mel!! Melisa!” terdengar suara memanggilku dari belakang.
            Adrian?
            “Hai Mel, di sini juga ya?”
            “Oh kamu to Ga. Aku kira ...”
            “He? Kamu kira apa? Oh iya, Gatama mana? Kamu nggak ke sini sendirian, kan?”
            Aku tersenyum. Aku kira ia bakal lupa kalau sahabatnya ini sudah punya pacar.
            “Nah itu dia. Tadi Adrian pergi ambil handphone di jok motor tapi sampai sekarang belum balik. Oh iya, kamu sama siapa ke sini, Ga?”
            “Aku tadi ke sini sama Andini tapi nih dia lagi cari toilet. Kebetulan banget aku ketemu kamu, Mel. Jadinya aku nggak luntang-luntung sendirian. Hehe.”
            Setelah kehabisan topik perbincangan, aku buru-buru melihat jam tanganku. Ini sudah melewati batas. Sudah lima belas menit, tapi Adrian tak kunjung kembali. Akhirnya kuputuskan untuk menyusulnya ke Waroeng Jadoel. Gatama ikut menemaniku karena ia tak mau mati garing di tengah pasar malam seramai itu.
            Kuterobos satu-satu orang-orang ini. Sepadat inikah hingga rasanya aku tak berpindah ke mana-mana? Suara tangisan anak balita mulai membuat hatiku mendidih. Semua rasanya makin pengap saja.
            Dari kejauhan, kutangkap bayangan sepeda motor Adrian yang masih pada tempatnya. Kuedarkan pandanganku tapi tak dapat kutemui Adrian di mana pun. Gatama mulai bertanya pada orang di sekitar.
            Beberapa detik kemudian, Gatama menarik lenganku dengan kasar tanpa berkata apa-apa.
            “Ga, apa-apaan ini! Kita jalan santai saja mencari Adrian, jangan menarikku seperti ini.”
            Kami berhenti secara tiba-tiba di dekat area joglo Waroeng Jadoel. DEG! Tidak, ini tidak benar. Ini tidak terjadi. Cukup, jangan seperti ini padaku. Kumohon, hentikan semuanya!!
            Tubuhku tiba-tiba lemas seperti kehabisan udara. Siluet-siluet itu jadi buram. Makin buram. Dan gelap. Demi apapun, aku membenci Adrian, Gatama, Andini, dan semua orang di sini.
**
            Gatama menyesap latte machiato. Namun secara ceroboh, sedikit cairan dari cangkir itu tertumpah ke kemeja putihnya yang amat sayang bila dipertemukan dengan cairan semacam latte machiato.
            “Kau ini. Ckck, begitu saja tumpah. Dasar bodoh. Haha,” kuberikan sebuah tissue untuk menghapus noda di kemejanya.
            “Aku ... bodoh? Bukankah kau juga bodoh?” tanyanya dengan sedikit tersenyum.
            “Aku? Ya benar katamu. Kita sama-sama bodoh.”
            “Kita dibodohi.”
            “Kita dikhianati.”
            Gatama mengajakku berdiri. Ia menyuruhku mengikuti langkahnya menghabiskan jalan menuju pasar malam yang jelas beda dengan pasar malam yang kubenci sebulan lalu. Gatama meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.
            “Kita ini lucu ya. Kenapa bukan kita saja yang pacaran?”
            Ah, omong kosong. Gatama tak mungkin serius mengatakannya. Tapi tunggu, kenapa genggamannya makin erat saja? Apakah perkataannya barusan bukan main-main?
            Entahlah, aku tak mau mengetahuinya. Yang penting, di sini, di bawah temaram bulan yang setia menemani, aku dan Gatama akan menghabiskan jalanan hingga pagi.
**


Selasa, 16 Agustus 2011

Perfeksionis di Ujung Rindu


                Lagu sendu yang amat akrab di telinga kami kini mengalun lirih lewat speaker yang dipasang di pojok-pojok kafe ini. Mengiris hati. Seakan memutar kembali alasan mengapa kami bersepakat bertemu di tempat ini. Bukan sinetron yang panjang, hanya berlangsung beberapa episode saja.
            Dengan segala keberanian yang masih berusaha kututupi, aku merasa benar dan teguh. Siapa yang berhak memilih bakat sepintar yang ada di diriku ini? Aku mau semua sempurna, tanpa cela. Aku takkan merelakan buah keringatku ternoda oleh apapun, termasuk cinta.
            Dia mengetukkan jarinya beberapa kali ke meja sambil menyesap cappucino di  cangkir putih berlengan dua. Ia belum pernah melihat ke arahku sejak duduk di depanku. Kami memang duduk di meja dekat jendela sehingga apapun yang terjadi di jalan, paling tidak, dapat menghiburnya. Kuperhatikan, ia terus saja melabuhkan tatapan matanya pada sebuah baliho di pinggir jalan. Sebuah iklan merk busana wanita terkenal dengan foto seorang artis pendatang baru yang namanya sedang naik daun.
            “Kopiku sudah hampir habis,” rupanya ia sudah mengalihkan tatapan matanya kepadaku.
            Aku diam sebentar. Rikuh dan bingung harus menjawab apa. Seharusnya aku mampu mengimbanginya, dalam bermain kata sekali pun. Itu sudah jelas kemahiranku.
            “Pesanlah satu lagi. Ini sore yang indah,” kutundukkan wajahku karena barangkali lima menit lagi aku akan mati kaku berhadapan dengan orang macam dia.
            “Ini sore yang biasa saja. Hanya satu yang membuat sore ini tak biasa.”
            “Apa?”
            “Iklan di baliho itu. Kau sudah lihat kan?” mataku mengikuti arah tunjukan jari telunjuknya menuju baliho yang betah ia tonton.
            Aku menelan ludah. Rasanya sedikit ngeri bila ia berkata begitu. Aku bisa menangis keras-keras kalau begini jadinya. Kesalahan yang hampir tak terampuni olehku di masa lalu seharusnya menjadikan ia lebih setia. Ya, kesetiaan yang kuharap bagai bintang jatuh yang tak pernah tersentuh. Kerapatan hati yang tak pernah mengijinkan kami berbagi kisah secara utuh. Seharusnya, ia ingat semuanya.
            “Astaga, apa kau cemburu lagi, sayang?” nada bicaranya yang seperti ini terasa lebih menyakitkan bagiku.
            “Ah, mana mungkin aku cemburu pada artis di iklan itu,” aku paksakan untuk tertawa kecil.
            “Vidia sayang, akuilah saja. Aku memang bukan laki-laki baik buatmu. Aku tak seperti tokoh-tokoh di cerpen atau novel larismu itu. Kau itu amat ..,” Jeffri tiba-tiba memutus kalimatnya sambil mencari-cari sesuatu lewat pikirannya.
            Kumohon jangan katakan kata itu lagi. Cukup bilang bahwa aku baik. Atau cantik. Dan berbakat, mapan atau apa saja yang tidak menyakiti perasaan wanita lemah sepertiku.
            “Perfeksionis!”
            Aku ingin tuli saja agar tak bisa mendengar kata itu lagi keluar dari mulutnya. Bibirku hampir terkunci beku hingga sangat terlambat bagiku untuk membela diri. Itu sudah pasti jadi senjata ampuhnya untuk memojokkanku hingga aku menyerah.
            “Tempo hari aku terima kritikan darimu tentang pekerjaanku sebagai supir taksi. Karena saranmu pula, aku mencari pekerjaan lain yang lebih layak di matamu. Tapi nihil. Aku lelah. Aku memang tak sepertimu Vi, gadis matang yang mapan sebagai penulis dan editor di penerbitan paling terkenal di kota metropolitan ini. Aku tak akan bisa sebanding denganmu.”
            Setengah jam telah berjalan lebih lama dari yang kukira. Padahal hanya sekelumit kata yang baru terlontar, tapi waktu nampaknya ingin lari tunggang langgang. Sama seperti air mataku yang ingin kularikan sampai jauh tak tahu arah supaya tak sampai menetes satu tetes pun di depan kekasihku sendiri.
            “Sudahlah, aku lelah sejak pagi berputar-putar melamar pekerjaan. Kau, pulang saja. Bukankah seharusnya kini kau lelah karena semua pekerjaanmu yang tak ada habisnya itu?”
            Tanpa menjawab, aku segera angkat kaki dari tempat itu. Toh, Jeffri juga tak menahanku untuk tetap berbicara di sana. Bahkan dengan amat jelas, ia menyuruhku pulang. Mungkin aku masih saja keras kepala, hingga di belakang setir pun aku masih mengomel seperti ibu-ibu.
**
            Rutinitas kembali mengusikku di awal hari seperti ini. Mataku masih lelah saat kubaca beberapa sinopsis novel yang direkomendasikan untuk terbit bulan depan. Semua naskah yang kurasa telah beres, kupilah-pilah menurut genre dan kelayakannya. Aku tak mau ada satu kekurangtepatan dalam apapun yang kukerjakan.
            Barangkali kantor ini yang memahat orang menjadi sepertiku. Perfeksionis, seperti kata Jeffri. Aku sendiri sering menyesal mengapa dulu aku marah sampai berhari-hari hanya karena ia salah mengeja nama lengkapku. Dan alasan mengapa di tahun pertama hubungan kami, aku selalu khawatir akan kesetiaannya sampai memaksanya berganti SIMcard handphone denganku setiap dua hari.
            “Vi, kamu melamun?” Cassanya, teman editorku, meletakkan beberapa naskah di atas mejaku.
            “Eh, ng, hanya kurang tidur saja. Kau sudah baca buku kumpulan puisiku yang baru saja terbit?”
            “Tentu saja. Aku suka buku barumu. Bahkan ada satu puisi yang menurutku, unik. Mirip seperti dirimu, Vi,” wanita ini mengambil sesuatu dari tas jinjingnya dan membawakan padaku sebuah buku yang akrab dengan mataku.
            Ia membuka bukuku pada salah satu halaman dan menunjuk satu judul di sana. Perfeksionis di ujung rindu, seperti itulah panggilan untuk puisiku yang satu itu. Tapi apa maksudnya, mengapa ia katakan itu mirip denganku?
            Aku siap mendaki bukit tanpa guratan di kaki
            Tak harus kurebahkan atas kekuatan yang termiliki
            Maka kusingkirkan balutan yang tak pasti
            Sementara ku hilang, makin remuk menggantung hati
            Lemah tergugu dalam sunyi
            Karena yang tak pasti kini menertawai
            Seorang pendaki berjiwa batu yang mulai merindu
            “Apakah kau sedang bercermin ketika menulis puisi itu, Vi?” teman editorku ini rupanya mengenalku lebih dari diriku sendiri.
            “Bercermin?” tanyaku pura-pura.
            “Itu mirip sekali denganmu. Haha. Bahkan judulnya pun langsung mengingatkanku padamu,” Cassanya menepuk pundakku seolah memaksaku untuk jujur saja dengannya, “Sebagai teman baikmu, aku punya satu saran untukmu.”
            Cassanya memang jadi teman dekatku sejak pertama aku bekerja di sini. Aku baru dengar nada bicara seperti ini darinya. Sarat ketegasan.
            “Vi, kau tak selalu harus memikirkan pekerjaan. Juga buku-bukumu. Selama ini, kau tak pernah bercerita tentang laki-lakimu padaku. Pastinya, kau punya kekasih, kan?” Cassanya berkata amat rapi hingga aku tak bisa menjawab apa-apa sampai ia pergi.
            Perkataannya barusan seolah menembak lurus tepat ke otakku. Aku harusnya tak seegois ini. Jika aku seperti ini, barangkali status perawan tua akan menempeliku sampai mati. Tapi sungguh aku nyaman dengan sifatku ini. Menginginkan segalanya sesuai dengan cita rasaku. Bukankah itu akan membuatku lebih nyaman?
**
            Sudah seminggu tepat Jeffry mengajakku bertemu. Entah apa lagi yang ingin ia katakan. Aku tak mau menduga-duga agar tak sakit hati lagi. Ataukah seperti setahun yang lalu ketika ia terang-terangan menunjukkan kekasih barunya padaku. Tapi rasanya ia takkan seberani itu lagi, ia sudah janji padaku.
            Semakin laki-laki itu meminta sebuah pertemuan, semakin ciutlah nyaliku menghadapinya. Kupikir tak ada yang salah dengan hubungan kami. Cukup saja dan tak ada yang kurang satu pun. Apa ia tak pikirkan jadwalku yang hampir tak pernah kosong seminggu ini?
            Untuk mengalahkan keegoisanku, kusanggupi penawarannya untuk bertemu di kafe langganan kami. Kemaja putihnya yang sering ia pakai menyapaku saat ku duduk berhadapan dengannya dekat jendela.
            “Sudah lama menungguku?”
            “Kau pasti sangat sibuk. Sangat sulit buatmu untuk meluangkan waktu untukku.”
            “Sudahlah. Apa yang kau bawa padaku? Buruk atau baik?”
            Jeffrry diam sejenak. Ia memalingkan wajahnya pada baliho yang ia bicarakan minggu lalu. Sambil memegangi cangkir latte machiato, iaa tersenyum sampai membuatku takut setengah mati.
            “Baik bagiku, dan mungkin buruk bagimu.”
            “Tolong jangan katakan,” jariku mulai gemetaran.
            “Kita tak akan bisa sepadan, Vi. Kau tahu kan bahwa aku merindukan sosok wanita yaang biasa saja. Ia, yang bisa memahamiku, memahami profesiku, dan tak seegois dirimu. Sandarkanlah hatimu pada orang lain karena hatiku sudah tersandar pada perempuan lain.”
            Tidak. Aku mau tuli. Aku tidak mendengar apa yang baru saja ia katakan. Aku tidak mengerti bahasa apa yang ia gunakan. Aku ingin tuli saja. Benar-benar tak punya telinga.
            “Kau tak mau memesan sesuatu? Latte machiato ini enak sekali,” bibirnya ringan sekali berucap seperti itu membuatku hampir menangis, “Pulanglah sebelum wanitaku datang kemari.”
            Apa-apaan ini? Siapa wanita yang bisa membuat ia bersandar hingga ia berani mengusirku dari sini? Kini keberuntungannya sudah mati. Wanita yang biasa-biasa saja, yang tak punya keahlian apa-apa mungkin sudah dalam perjalanan kemari. Dengan bis, atau lebih parah, jalan kaki menghemat uang bea secangkir kopi kekasih barunya.
**
            Dua bulan ini menjadikanku seseorang yang lebih kuat. Aku jadi lebih sering jalan-jalan ke mall dengan Cassanya. Hunting wedges unik yang baru booming akhir-akhir ini. Ia sudah tak mengusik laki-lakiku. Ia tahu aku sedang sendiri.
            Di suatu pagi di bulan Desember, Cassanya datang ke kantor dengan senyum meleleh dari bibirnya. Ia mendatangiku, mungkin ingin menunjukkan sebuah kertas, mirip poster, yang ia bawa.
            “Vi, kau pernah tahu seseorang berubah dengan signifikan?”
            Aku melongo. Perempuan ini bicara apa?
            “Sepupuku, ia dapat tawaran pemain utama di sebuah film. Ini berita paling baik yang masuk telingaku.”
            “Kenapa kamu bilang signifikan? Ia pasti rajin mengikuti casting.”
            “Ia mantan pekerja serabutan dan baru sekali ikut casting film. Itu yang kusebut signifikan.”
            “Siapa? Kau belum mengenalkanku padanya. Nasibnya memang mujur.”
            “Ini. Kuambil posternya dari sebuah majalah. Dia, benar-benar tampan.”
**
            Baru tadi siang Cassanya mengenalkan superstar baru kepadaku. Berita baik itu justru membuat perutku tak enak. Migrainku kambuh lagi. Tapi rasanya akan membosankan bila aku langsung pulang ke rumah.
            Saat melintas dekat kafe, aku putuskan untuk singgah sejenak. Sore begini, saat orang sedang pulang kantor, aku tak merasa kaku pada kaki atau tanganku. Namun di suatu sudut jantungku, rasanya perih terlilit sesuatu yang memuakkan.
            Benar kata Cassanya. Puisi itu memang mirip sekali denganku. Seperti ramalan yang ampuh, membuatku duduk sendiri di saat orang lain tertawa riang di pinggir jalan. Hanya kaca besar ini yang memisahkan aku dengan orang-orang di luar sana.
            Aku siap mendaki bukit tanpa guratan di kaki. Tolong jelaskan padaku, mengapa guratan itu menjalar mengerogoti hati?
            Tak harus kurebahkan atas kekuatan yang termiliki. Sekarang justru aku tak punya kekuatan seujung jari pun.
            Maka kusingkirkan balutan yang tak pasti. Laki-laki yang kusangka lemah itu kini telah kutendang pergi.
            Sementara ku hilang, makin remuk menggantung hati. Semakin ku lari, hatiku ingin tetap tinggal.
            Lemah tergugu dalam sunyi. Kini pipiku hangat, duduk sendiri di sebuah kafe pada malam minggu.
            Karena yang tak pasti kini menertawai. Ini lebih mirip sebuah ejekan.
            Seorang pendaki berjiwa batu yang mulai merindu. Wanita mapan yang sedang kesepian.
            “Latte machiato ini memang enak, seperti katamu,” ucapku lirih sembari menonton iklan baru di baliho dengan sepasang pasangan artis muda pendatang baru yang sedang naik daun dalam pose mesra.